Oleh; B JOSIE SUSILO HARDIANTO
Di Waghete, sebuah kota kecamatan—sebenarnya lebih mirip sebuah kampung—yang terletak di tepi Danau Tigi, Papua, warga mengenal apa yang disebut dengan BOP. BOP adalah singkatan dari bugi yang artinya kebun, owaa yang berarti rumah, dan piya atau kayu dalam bahasa Indonesia. Piya dapat pula dimaknai sebagai pohon atau tanaman.
Dalam tradisi masyarakat Mee, tiga hal itu haruslah dipenuhi, setidaknya telah dipersiapkan oleh seorang pemuda jika ia hendak berkeluarga. Kebun harus ia siapkan untuk nantinya ditanami nota atau ubi jalar oleh istrinya. Kebun ini akan menjadi jaminan dan sumber hidup bagi dia dan keluarganya, juga kerabat dekat mereka.
Rumah harus dipersiapkan sejak awal agar setelah pemuda itu berkeluarga, ia akan membawa keluarga barunya tinggal dalam rumah itu dan menjadi mandiri. Ia juga diminta agar menanam bibit pohon-pohon berkualitas, seperti pohon uwo. Kayu pohon itu dikenal kuat dan baik untuk membuat rumah.
Jika kebun dan rumah dibangun di sekitar perkampungan, tanaman atau pohon-pohon pilihan harus ditanam di hutan-hutan marga. Bagi mereka, keberadaan dan kelestarian hutan merupakan persoalan penting.
Bagi mereka, hutan tidak hanya menjadi salah satu sumber makanan bagi mereka, baik berupa buah maupun binatang buruan, tetapi juga sarana bagi mereka untuk mengenali musim.
Ketika pohon jambu hutan mulai berbuah, bagi masyarakat Mee, itu menandakan musim kemarau tiba. Pada masa-masa itu pula iring-iringan burung nuri akan datang dan anak-anak mulai masuk hutan untuk berburu burung.
Tidak hanya itu, kelestarian hutan juga menjadi bagian penting proses inisiasi bagi masyarakat Mee. Dalam tradisi masyarakat Mee dikenal pula apa yang disebut dengan wodayuwo atau pesta kuskus.
Menurut Amandus Iyai, seorang tokoh masyarakat Mee yang tinggal di Bomomani, Kabupaten Dogiyai, Papua, anak-anak—terutama laki-laki yang telah akil balig—diminta pergi ke hutan marga untuk berburu kuskus. Apa saja yang dilakukan oleh anak-anak itu diamati oleh para tetua adat.
Kemahiran atau kepandaian utama yang diperlihatkan ketika proses perburuan itu berlangsung akan menjadi sebutan dan diterakan sebagai nama tengah anak itu. Neles Tebay, dosen Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Fajar Timur, Abepura, Papua, yang juga berasal dari masyarakat Mee, misalnya, memiliki nama tengah Kebadabi yang artinya orang yang membuka jalan.
Apa yang muncul dalam proses inisiasi dan penamaan itu terkait erat dengan apa yang disebut masyarakat Mee dengan dimi. Secara harfiah, dimi dapat diartikan pikiran atau lebih luas dapat dimaknai sebagai kebijaksanaan atau sikap hormat kepada kemanusiaan dan keluhuran budi. Ia dapat mewujud sebagai karakter utama seseorang.
Sebagai bagian dari proses pendewasaan manusia, dimi memainkan peranan penting karena hal itu terkait erat dengan proses perencanaan masa depan, tindakan-tindakan sadar, dan intensionalitas seseorang. Tidak mengherankan jika dalam komunitas masyarakat Mee, proses inisiasi menjadi salah satu bagian sentral dalam kehidupan mereka dan hutan menjadi bagian penting karena menjadi sarana untuk menyibak personalitas seseorang.
”Hutan menjadi bagian eksistensial dalam kehidupan masyarakat Mee, demikian juga bagi semua masyarakat Papua,” kata Neles Tebay. Hutan menjadi sarana untuk menggembleng para pemuda, apalagi dipercayai di hutan pula roh-roh nenek moyang bersemayam.
Mengkhawatirkan
Bagi masyarakat Mee, juga umumnya masyarakat Papua, hancurnya hutan tidak hanya memberikan ancaman ekonomi, tetapi juga berdampak pada problem-problem eksistensial. Dalam Kongres I Selamatkan Manusia dan Hutan Papua yang digelar November lalu, seorang tokoh adat masyarakat Muting-Merauke, Thobias Gebze, mengatakan bahwa dirinya menyesal karena telah melepas tanah adat kepada perusahaan perkebunan kelapa sawit.
”Kami merasa berdosa kepada cucu kami yang akan memaki-maki kami karena tidak mewariskan sesuatu kepada mereka. Masalahnya, pada saat itu kami tidak mendapatkan informasi yang benar. Kami dipaksa untuk melepaskan tanah dan hutan kami untuk perusahaan kelapa sawit dengan banyak janji bahwa kami akan hidup lebih baik. Betul-betul sekarang kami menyesal, tetapi kami tidak bisa berbuat apa-apa untuk mengembalikan tanah kami,” kata Thobias Gebze dalam acara yang dimotori oleh Foker Papua itu.
Kegelisahan Thobias tentu saja sangat beralasan. Tanah yang dimaknai sebagai ibu yang memberikan kehidupan dan penghidupan bagi manusia telah hilang. Sekali lagi, itu bukan hanya persoalan kehilangan basis ekonomi, lebih dari itu, mereka kehilangan basis eksistensial.
Dalam konteks itu, negara sesungguhnya turut bertanggung jawab atas hilangnya tanah milik masyarakat adat di Papua. Catatan yang dimiliki Foker Papua menunjukkan, pengelolaan secara komersial hutan alam produksi di Papua dimulai sejak 1975 hingga 1990 oleh 21 pemegang hak pengusahaan hutan (HPH). Pada kurun waktu 1991-1995, jumlah HPH meningkat menjadi 33 unit dan menjadi 37 unit pada kurun 1996-2000.
Kehadiran pengusaha HPH itu tentu saja makin mengancam kelestarian hutan di Papua yang luasnya mencapai 42,2 juta hektar lebih.
Kondisi itu akan makin mengkhawatirkan dengan rencana pembukaan lebih dari 20.000 hektar perkebunan kelapa sawit baru di wilayah Kabupaten Keerom dan rencana pembukaan lebih dari 1 juta hektar kebun sawit di Merauke.
Bagi masyarakat Papua, gagasan itu tentu akan mengancam keberadaan mereka. Seperti di Keerom, masyarakat asli Papua umumnya tidak memperoleh banyak manfaat dari perkebunan itu. Sebaliknya, mereka justru makin tersingkir dari wilayah tersebut.
Kehadiran perkebunan kelapa sawit, perusahaan pengelola, dan pekerja pendatang—sebagaimana telah terjadi—mengambil alih dan memutuskan hubungan sosial, budaya, dan religiusitas antara masyarakat dan tanah, hutan dan semua sumber-sumber kehidupan masyarakat Papua. Hal itulah yang kerap dikhawatirkan Pater John Jonga, rohaniwan yang juga tokoh pembela hak asasi manusia di Papua.
Secara ekonomis, menurut Pater John Jonga, usaha perkebunan sawit tidak terlalu menguntungkan bagi masyarakat. Bahkan, kehadirannya telah membawa kerusakan dan ancaman cukup parah bagi masyarakat Papua.
Foker Papua menilai masyarakat adat telah menjadi korban pembangunan dan eksploitasi hutan yang bersifat sentral dan berorientasi profit. Secara struktural dan sistematis, eksploitasi itu dilakukan oleh negara dan pengusaha.
Menentang kemanusiaan
Dalam gagasan masyarakat Mee, eksploitasi dan eksplorasi yang tidak mengindahkan kelestarian alam dan demi pemajuan kemanusiaan itu bertentangan dengan dimi. Pelaku eksploitasi dikategorikan sebagai dimi beu atau tidak memiliki dimi.
Konflik dan intimidasi yang terus-menerus terjadi mengiringi persoalan tersebut menunjukkan kegiatan eksploitasi itu dilakukan dengan tanpa mengindahkan dimi, tanpa mengindahkan kesadaran akan gagasan kosmologis yang melingkupi pemahaman masyarakat Papua tentang tanah dan hutan.
Tentang hal itu, negara—setidaknya pemerintah lokal—selayaknya dapat bersikap lebih arif. Ketentuan perundang-undangan yang terkait dengan hal itu selayaknya ditinjau kembali dan dibangun keberpihakan yang lebih konkret kepada masyarakat Papua.
Lindon Pangkali dari Foker Papua mengatakan, masyarakat tidak menentang pembangunan, tetapi setidaknya mereka mesti dilibatkan dalam proses pengelolaan tata ruang. Jika tidak, pengambilan tanah adat begitu saja secara tidak langsung akan membunuh mereka.
Pemerintah, menurut dia, perlu membangun harmonisasi dengan masyarakat adat untuk menghindari konflik dan agar zona-zona sakral milik masyarakat adat tetap lestari. ”Melalui ketentuan, zona-zona sakral itu dapat ditetapkan menjadi zona lindung dan konservasi,” tutur Lindon Pangkali.
FOKUS KOMPAS 17 Desember 2009
