
Mahasiswa Antripologi Uncen. Foto: IST
SIANG itu di tengah hutan, dekat sungai di bawah kaki Gunung Robong Holo (Cycloop), 50-an mahasiswa baru jurusan antropologi di inisiasi sebagai syarat di terima menjadi kerabat Jurusan Antorpologi Univesitas Cenderawasih.
Saya di beri kesempatan untuk bercerita tentang Papua. Saya memulainya dengan peta, "apakah kalian tahu peta Papua?"
"Baik, kalau begitu kita bermain peta buta, ade yang di depan sebelah kiri, Wondama ada di sebelah mana?"
Sambil menggeleng dia menjawab tidak tahu.
"Yang di belakang, Mappi ada di sebelah mana?"
"Di Selatan!"
"Selatan sebelah mana?"
"Dekat Merauke" jawabnya.
"Bagus, dekat Merauke, Boven Digul dan Asmat" saya mempertegas jawabannya.
"Ade yang di tengah belakang, asal dari?" tanya saya pada satu mahasiswa yang duduk di bagian belakang.
"Yahukimo"
Saya memanggilnya ke depan "Mari ke depan."
"Coba ade cerita dengan bahasa tentang ade punya kampung, setelah itu terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia"
Dia pun bercerita tentang kampunya di Kabupeten Yahukimo, setelah ceritanya selesai saya mempersilahkannya untuk duduk kembali.
Sambil bercerita tentang Papua, saya juga mencari tahu apakah para mahasiswa baru baru ini mengenal cerita rakyat, keadaan kampung, sejarah kampungnya atau totem dalam keret mereka.
Saya melihat ke arah kanan, dan menunjuk salah satu dari mereka. "Ade asal dari?"
"Jayapura Kaka!"
"Tinggal dimana?"
"Argapura"
"Ade fam"
"Sibi!"
"Ohh, orang Kayu Pulo" jawab saya.
"Ade tau makna kelapa dan tebu, dalam keret di Kayu Pulo?"
Dia menggelang, dan menjawab tidak tahu. Saya terus mengajak mereka berputar dari satu kampung, ke kampung lainnya. Melompat dari satu tradisi, ke tradisi lainnya. Ada banyak yang terputus dari kisah-kisah sejarah dan tradisi perjalanan keret dan suku.
Perjalanan cerita siang saya akhiri sambil mengutip pernyataan Goethe - Sastrawan Jerman, "Orang yang tidak dapat mengambil pelajaran dari masa tigaribu tahun, hidup tanpa memanfaatkan akalnya."
-- Sentani, September 13, 2013 --